Pendidikan Karakter
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas individu pada mata kuliah “Psikologi Pendidikan”
Dosen Pengampu :
Dr. Hj. Sururin, M.Ag.
Disusun oleh :
Muhammad Fahmi Dzajuli (11150110000032)
SEMESTER III
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan karakter bukanlah
pendidikan yang berbasis hafalan. Pendidikan karakter merupakan pendidikan
perilaku yang terbentuk dari kebiasaan dan keteladanan para pendidik, orang
tua, para pemimpin, dan masyarakat yang merupakan lingkungan luas bagi pengembangan
karakter anak. Sekolah adalah lembaga yang memikul beban untuk melaksanakan
pendidikan karakter. Dalam UU Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 pasal 1 dinyatakan bahwa tujuan
pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki
kecerdasan, kepribadian, dan akhlak mulia.
Pendidikan karakter merupakan
pendidikan akhlak mulia bagi anak dengan melibatkan aspek pengetahuan,
perasaan, dan tindakan. Kecerdasan emosi akan mempersiapkan anak untuk menghadapi segala macam tantangan kehidupan
dan kecerdasan spiritual akan membetuk anak yang taat beribadah dan berbakti
kepada orang tua, bertanggung jawab, dan ikhlas. Dari sini, sudah sepatutnya
pendidikan karakter di mulai dari dalam keluarga yang merupakan lingkungan
pertama bagi pertumbuhan karakter anak, lalu dikembangkan di sekolah, dan
diterapkan dalam kehidupan mayarakat.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian
Pendidikan Karakter
2.
Ruang
Lingkup Pendidikan Karakter
3.
Tujuan
Pendidikan Karakter
4.
Prinsip
Pendidikan Karakter
5.
Metode
Pendidikan Karakter
6.
Landasan
Pedagogis Pendidikan Karakter
7.
Nilai-Nilai
Pendidikan Karakter
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
Pengertian Pendidikan Karakter
2.
Mengetahui
Ruang Lingkup Pendidikan Karakter
3.
Mengetahui
Tujuan Pendidikan Karakter
4.
Mengetahui
Prinsip Pendidikan Karakter
5.
Mengetahui
Metode Pendidikan Karakter
6.
Mengetahui
Landasan Pedagogis Pendidikan Karakter
7.
Mengetahui
Nilai-Nilai Pendidikan Karakter
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pendidikan Karakter
Adapun kata karakter berasal dari bahasa Latin “Karakter”,
“Kharassein”, “Kharax”, dalam bahasa Inggris “Character” dan Indonesia
“Karakter”, Yunani “Character”, dari charassein yang berarti membuat tajam,
membuat dalam. Dalam kamus poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat,
watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang
dengan yang lain, nama dari jumlah seluruh ciri pribadi yang meliputi hal-hal
seperti perilaku, kebiasaan, kesukaan, ketidaksukaan, kemampuan, kecenderungan,
potensi, nilai-nilai, dan pola-pola pemikiran.
Menurut UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 Pasal 1
butir 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan nasional bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.[1]
Adapun pendidikan karakter didefinisikan oleh Hornby dan Parnwell,
yang mengatakan karakter adalah kualitas mental atau moral, nama atau reputasi.
Hermawan Kertajaya mendefinisikan karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh
suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut ialah asli dan mengakar pada
kepribadian benda atau individu tersebut dan merupakan mesin pendorong
bagaimana seseorang bertindak, bersikap, berujar, dan merespons sesuatu.[2]
Untuk melengkapi pengertian tentang karakter ini akan dikemukakan
juga pengertian akhlak, moral, dan etika. Kata akhlak berasal dari bahasa Arab
“al-akhlaq” yang merupakan bentuk jamak dari kata “al-khuluq” yang berarti budi
pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat.[3]
Sedangkan secara terminologis, akhlak berarti keadaan gerak jiwa yang mendorong
ke arah melakukakan perbuatan dengan tidak menghajatkan pikiran. Inilah
pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih. Sedang Al-Ghazali mendefinisikan
akhlak sebagai suatu sifat yang tetap pada jiwa yang daripadanya timbul
perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak membutuhkan kepada pikiran.[4]
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa karakter identik dengan
akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal
yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan
Tuhan, dengan dirinya, sesama manusia, maupun dengan lingkungannya, yang
terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkatan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat.
B.
Ruang Lingkup Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter merupakan bagian penting bagi kehidupan
manusia. Sebagai sebuah proses, ada dua asumsi yang berbeda mengenai pendidikan
karakter. Pertama, ia bisa dianggap sebagai sebuah proses yang terjadi
secara tidak disengaja atau berjalan secara alamiah. Misalnya, pada dasarnya
manusia belajar dari peristiwa alam yang ada untuk mengembangkan kehidupannya. Kedua,
pendidikan karakter bisa dianggap sebagai proses yang terjadi secara sengaja,
direncanakan, didesain dan diorganisasi berdasarkan perundang-undangan yang
dibuat. Misalnya, UU Sisdiknas yang merupakan dasar penyelenggaraan pendidikan.[5]
Pengembangan pendidikan karakter harus memiliki peruntukan yang
jelas dalam usaha membangun moral dan karakter anak bangsa melalui kegiatan
pendidikan. Ruang lingkup pendidikan karakter berupa nilai-nilai dasar etika
dan bentuk-bentuk karakter yang positif, selanjutnya menuntut kejelasan
identifikasi karakter sebagai perwujudan perilaku bermoral. Pendidikan karakter
tanpa identifikasi karakter hanya akan menjadi sebuah perjalanan tanpa akhir,
petualangan tanpa peta. Kemudian, ruang lingkup atau sasaran dari pendidikan
karakter ialah satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Peran ketiga aspek
tersebut sangat penting guna membentuk dan menanamkan pendidikan karakter pada
peserta didik. Hal tersebut sangat ditentukan oleh semangat, motivasi,
nilai-nilai, dan tujuan dari pendidikan.
C.
Tujuan Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter bukanlah sesuatu yang baru. Sebetulnya
pendidikan karakter sama tuanya dengan pendidikan itu sendiri. Sepanjang
sejarah, di negara-negara seluruh dunia, pendidikan memiliki dua tujuan besar
yakni membantu anak-anak menjadi pintar dan membantu mereka menjadi baik. Sejak
zaman Plato, pendidikan karakter yang dibarengkan dengan pendidikan
intelektual, kesusilaan, dan literasi, serta budi pekerti dan kemanusiaan. Mereka mencoba membentuk sebuah
masyarakat yang menggunakan kecerdasan mereka untuk kemaslahatan orang lain dan
diri mereka, yang akan mencoba membangun dunia yang lebih baik.[6]
Tujuan yang paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat
seseorang menjadi good dan smart. Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad SAW
menegaskan bahwa misi utamanya dalam mendidik manusia adalah untuk mengupayakan
pembentukan karakter yang baik (good character).[7] Pendidikan
karakter pada tingkat satuan pendidikan mengarah pada pembentukan budaya
sekolah atau madrasah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi
kebiasaan sehari-hari, serta simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga
sekolah atau madrasah dan masyarakat sekitarnya.[8]
Adapun tujuan pendidikan karakter menurut Kementerian Pendidikan
Nasional adalah mengembangkan karakter peserta didik agar mampu mewujudkan
nilai-nilai luhur Pancasila. Apabila tujuan pendidikan karakter yang berbasis
agama dan bangsa, maka tujuannya ialah menanamkan jiwa kepemimpinan dan
tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa, mengembangkan kemampuan
peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif dan berwawasan kebangsaan,
mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang
aman, jujur, penuh kreativitas dan
persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh
kekuatan.[9]
D.
Prinsip Pendidikan Karakter
Pada prinsipnya, pengembangan budaya dan karakter bangsa tidak
dimasukkan sebagai pokok bahasan tetapi terintegrasi ke dalam mata pelajaran,
pengembangan diri, dan budaya sekolah. Oleh karena itu, guru dan sekolah perlu
mengintegrasikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan
karakter bangsa ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006 (KTSP) atau
Kurikulum 2013 (Kurtilas), Silabus, dan Rencana Program Pembelajaran (RPP) yang
sudah ada.
Berikut prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan
pendidikan budaya dan karakter bangsa.
1.
Pendidikan
merupakan kiat untuk menerapkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan teknologi
bagi manusia.
2.
Pendidikan
merupakan proses interaksi sesama manusia yang ditandai keseimbangan antara
kedaulatan subjek didik dengan kewibawaan pendidik.
3.
Pendidikan
pada prinsipnya berlangsung seumur hidup.
4.
Pendidikan
merupakan upaya mensiapkan peserta didik menghadapi lingkungan yang mengalami
perubahan semakin besar.
5.
Pendidikan
meningkatkan kualitas kehidupan pribadi dan masyarakat.
Sementara itu, orang Yunani memberikan prinsip pendidikan sebagai
usaha membantu manusia menjadi manusia. Adapun tujuan pendidikan sesungguhnya
adalah memanusiakan manusia. Maksud memanusiakan manusia adalah menjadikan
manusia sebagai manusia seutuhnya yang memiliki kemampuan mengendalikan diri,
berpengetahuan dan cinta tanah air. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan
penanaman nilai-nilai perilaku berkarakter.[10]
E.
Metode Pendidikan Karakter
Doni A. Koesoema, sebagaimana yang dikutip oleh Bambang Q-Anees dan
Adang Hambali, mengajukan lima metode pendidikan karakter (dalam penerapan
lembaga di lembaga sekolah), yaitu: Pertama, mengajarkan. Pemahaman
konsepktual telah dibutuhkan sebagai bekal konsep-konsep nilai yang kemudian
menjadi rujukan bagi perwujudan karakter tertentu. Mengajarkan karakter berarti
memberikan pemahaman pada peserta didik tentang struktur nilai tertentu,
keutamaan, dan masalahnya. Mengajarkan nilai memiliki dua faedah, pertama,
memberikan pengertian konseptual baru, kedua, menjadi pembanding atas
pengetahuan yang telah dimiliki oleh peserta didik. Karena itu, maka proses
“mengajarkan” tidaklah menolong, melainkan melibatkan peran peserta didik.
Kedua, Keteladanan. Manusia lebih banyak belajar dari apa yang
mereka lihat. Keteladanan memiliki posisi yang sangat penting. Guru harus terlebih
dahulu memiliki karakter yang ingin hendak diajarkan. Guru adalah yang digugu
dan ditiru, peserta didik akan meniru apa yang dilakukan oleh gurunya
ketimbang yang dilaksanakan sang guru. Bahkan, sebuah pepatah kuno memberi
peringatan pada para guru bahwa peserta didik akan meniru karakter negatif
secara lebih ekstrem ketimbang gurunya, “guru kencing berdiri, murid kencing
berlari”. Keteladanan tidak hanya bersumber dari guru, melainan juga bersumber
dari seluruh manusia yang ada di lembaga pendidikan tersebut. Juga bersumber
dari orang tua, karib kerabat, dan siapapun yang sering berhubungan dengan
peserta didik. Pada titik ini, pendidikan karakter membutuhkan lingkungan yang
utuh, saling mengajarkan karakter.
Ketiga, Menentukan
prioritas. Penentuan prioritas yang jelas harus ditentukan agar proses evaluasi
atas berhasil tidaknya pendidikan karakter dapat menjadi jelas. Oleh karena
itu, lembaga pendidikan memiliki beberapa kewajiban. Pertama, menentukan
tuntutan standar yang akan ditawarkan kepada peserta didik, kedua, semua
pribadi yang terlibat dalam lembaga pendidikan harus memahami secara jernih apa
nilai yang ingin ditekankan, ketiga, jika lembaga ingin menetapkan
perilaku standar yang menjadi ciri khas lembaga maka karakter itu harus difahami oleh peserta didik, orang tua,
dan masyarakat.
Keempat, Praksis
prioritas. Unsur lain yang sangat penting setelah penentuan prioritas karakter
adalah bukti dilaksanakannya prioritas karakter tersebut. Lembaga pendidikan
harus mampu membuat verifikasi sejauh mana prioritas yang telah ditentukan
telah dapat direalisasikan dalam lingkup pendidikan melalui berbagai unsur yang
ada. Kelima, Refleksi. Refleksi berarti dipantulkan ke dalam diri. Apa
yang telah dialami masih tetap terpisah dengan kesadaran diri sejauh ia belum dikaitkan, dipantulkan dengan isi
kesadaan seseorang. Refleksi dapat juga disebut sebagai proses bercermin pada
peristiwa yang telah terjadi.[11]
Berikut langkah-langkah penerapan pendidikan karakter untuk menjadi
budaya sekolah:
1.
Kesepakatan
mengenai karakter yang hendak dicapai dan ditargetkan sekolah. Karena tidak
mungkin satu sekolah dapat menerapkan 18 karakter yang ditetapkan oleh
Kemendikbud.
2.
Membangun
pemahaman bahwa sekolah ingin membudayakan karakter positif untuk seluruh warga
sekolah dan ini membutuhkan sebuah proses.
3.
Menyusun
rencana menyeluruh untuk mengintensifkan pengembangan dan pembelajaran mengenai
karakter yang hendak dicapai atau ditargetkan oleh sekolah.
4.
Mengintegrasikan
karakter yang sudah dipilih ke dalam pembelajaran di seluruh kurikulum secara
terus-menerus.
5.
Melalui
suatu workshop, para guru harus menentukan pendekatan/metode yang jelas
terhadap mata pelajaran yang dapat
digunakan untuk menanamkan karakter yang sudah disepakati sekolah.
6.
Sosialisasikan
karakter yang disepakati kepada seluruh warga sekolah.
7.
Mengembangkan
moto sekolah, yang bertumpu pada karakter yang disepakati.
8.
Menentukan
indikator terhadap keberhasilan program ini.
9.
Melakukan
evaluasi terhadap program karakter.
10.
Memberikan
apresiasi bagi warga sekolah yang menunjukkan perubahan ke arah karakter yang
dibudayakan.[12]
F.
Landasan Pedagogis Pendidikan Karakter
Pendidikan adalah suatu upaya sadar untuk mengembangkan potensi
peserta didik secara optimal. Usaha sadar itu tidak boleh dilepaskan dari
lingkungan peserta didik berada, terutama dari lingkungan budayanya, karena
peserta didik hidup tidak terpisahkan dalam lingkungannya dan bertindak sesuai
kaidah-kaidah budayanya. Pendidikan yang tidak dilandasi prinsip itu akan
menyebabkan peserta didik tercabut dari akar budayanya. Ketika hal ini terjadi,
maka mereka tidak akan mengenal budaya dengan baik sehingga ia menjadi orang
“asing” dalam lingkungan budayanya. Selain menjadi orang asing yang lebih
mengkhawatirkan adalah dia menjadi orang yang tidak menyukai budayanya.
Budaya, yang menyebabkan peserta didik tumbuh dan berkembang, di
mulai dari budaya di lingkungan terdekat (RT, RW, Kampung, Desa) berkembang ke
lingkungan yang lebih luas yaitu budaya nasional bangsa dan budaya universal
yang dianut oleh umat manusia. Apabila peserta didik menjadi asing dari budaya
terdekat maka dia tidak mengenal baik budaya bangsa dan tidak mengenal dirinya
sebagai anggota budaya bangsa. Semakin kuat seseorang memiliki dasar
pertimbangan, semakin kuat pula kecenderungan untuk tumbuh dan berkembang
menjadi warga negara yang baik. Oleh karena itu, aturan dasar yang mengatur
pendidikan nasional (UUD 1945 dan UU Sisdiknas) sudah memberikan landasannya
yang kokoh untuk mengembangkan keseluruhan potensi diri seseorang sebagai
anggota masyarakat bangsa.
1.
Dasar
konstitusional dalam operasional pendidikan karakter
a.
Amanat
UUD 1945
1)
Pasal
31 ayat 3: “Pemerintah mengusahakan dan menyegerakan suatu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”.
2)
Pasal
31 ayat 5: “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.
b.
Amanat
UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”.
2.
Rujukan
penyusunan kebijakan nasional pendidikan karakter
a.
UU
RI Nomor 17 tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025
b.
UU
RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
c.
Instruksi
Presiden RI Nomor 1 tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas
Pembangunan Nasional Tahun 2010
d.
Arahan
Presiden RI dalam Sidang Kabinet Terbatas Bidang Kesra tanggal 18 Maret 2010
e.
Arahan
Presiden RI pada Rapat Kerja Nasional di Tampak Siring, Bali tanggal 19-20
April 2010
f.
Arahan
Presiden RI pada Puncak Peringatan Hari Pendidikan Nasional di Istana Negara
tanggal 11 Mei 2010[13]
G.
Nilai-Nilai Pendidikan Karakter
Nilai-nilai pendidikan karakter perlu dijabarkan sehingga diperoleh
deskripinya. Deskripsi berguna sebagai bahasan atau tolak ukur ketercapaian
pelaksanaan nilai-nilai pendidikan karakter di sekolah. Adapun 18 nilai-nilai
pendidikan karakter yang di deskripsikan adalah sebagai berikut:
1.
Religius,
sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya.
2.
Jujur,
perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang
selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3.
Toleransi,
sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat,
sikap, dan tindakan orang lain yang
berbeda dari dirinya.
4.
Disiplin,
tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan
peraturan.
5.
Kerja
keras, perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai
hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6.
Kreatif,
berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari
sesuatu yang telah dimiliki.
7.
Mandiri,
sikap dan perilaku yang tidak mudah bergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
8.
Demokratis,
cara berpikir, bersikap, bertindak yang menilai sama hal dan kewajiban dirinya
dan orang lain.
9.
Rasa
ingin tahu, sikap dan tindakan yang selalu berupaya mengetahui lebih mendalam
dan meluas dari sesuatu yan dipelajarinya, dilihat dan didengar.
10.
Semangat
kebangsaan, cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan diri dan kelompoknya.
11.
Cinta
tanah air, cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan
kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bangsa, lingkungan fisik,
sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12.
Menghargai
prestasi, sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu
yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan
orang lain.
13.
Bersahabat/komunikatif,
tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul dan bekerja sama
dengan orang lain.
14.
Cinta
damai, sikap, perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang
dan aman atas kehadiran dirinya.
15.
Gemar
membaca, kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang
memberikan kebajikan bagi dirinya.
16.
Peduli
lingkungan, sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan lingkungan
alam disekitarnya, dan mengembangkan upaya untuk memperbaiki kerusakan alam
yang sudah terjadi.
17.
Peduli
sosial, sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain
dan masyarakat yang membutuhkan.
18.
Tanggung
jawab, sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannnya
yang seharusnya dia lakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan,
negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Nilai-nilai pendidikan karakter tersebut diterapkan sejak usia
kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden
age) karena usia dini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam
mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% varibialitas
kecerdasan pada orang dewasa terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30%
berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau
akhir dasawarsa kedua. Dari sini sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari
dalam pendidikan keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan
karakter anak.
Akan tetapi, bagi sebagian keluarga, proses pendidikan karakter
yang sistematis diatas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang
terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, sebaiknya pendidikan karakter
juga perlu diberikan saat anak-anak masuk lingkungan sekolah, terutama sejak play
group, taman kanak-kanak, dan pendidikan anak usia dini (PAUD). Disinilah,
peran guru, yang dalam filosofi jawa disebut
digugu dan ditiru menjadi ujung tombak di lingkungan
sekolah, yang berhadapan langsung dengan peserta didik.[14]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pendidikan karakter pada hakikatnya merupakan pembinaan personal
peserta didik secara terprogram dengan tujuan tertentu bagi lembaga pendidikan
dengan menitikberatkan pembinaan ideologi agama, budaya bangsa yang unggul dan
jiwa kepemimpinan, yang sekaligus membangun kekuatan dan kualitas peserta didik
yang berkarakter unggul. Pendidikan karakter pada tiga komponen, yaitu sekolah,
keluarga, dan masyarakat diharapkan memiliki upaya dan usaha penanaman dan
pembudayaan nilai, sikap, dan cara berfikir, serta meningkatkan kompetensi dan
integritas. Terutama dalam aspek berbasis nilai agama, budaya bangsa,
kepemimpinan, ilmu pengetahuan dan teknologi serta wawasan global bagi peserta
didik dan seluruh civitas dunia pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Untuk itu,
pendidikan karakter yang menjadi tanggung jawab sekolah, keluarga, dan
masyarakat harus dijadikan sebagai sarana untuk penyadaran, peneguhan,
pengayaan, pencerahan dan pemahaman.
Baca juga:
Makalah Poligami, Perjanjian Perkawinan dan Kawin Hamil
Materi Perkuliahan Pengembangan Kurikulum
Baca juga:
Makalah Poligami, Perjanjian Perkawinan dan Kawin Hamil
Materi Perkuliahan Pengembangan Kurikulum
[1] Anas
Salahudin, Pendidikan Karakter;Pendidikan Berbasis Agama dan Budaya Bangsa,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2013). Hlm. 41.
[2] Abdul
Majid, Pendidikan Karakter Persfektif Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2011), hlm. 11.
[3] Hamzah
Ya’qub, Etika Islam: Pembinaan Akhlaqul Karimah. (Bandung: CV Diponegoro, 2008).
Cet IV, hlm 11.
[4] Rahmat
Djatnika, Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia). (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 2006), hlm. 27.
[5] Fatchul
Mu’in, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik dan Praktik.
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011). hlm 287.
[6] Thomas
Lickona. Terj Lita S, Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap Mendidik Siswa
Menjadi Pintar dan Baik. (Bandung: Nusa Media, 2013), hlm. 6.
[7] Abdul
Majid, op.cit., hlm. 30.
[8] E.
Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),
hlm. 9.
[9] Anas
Salahudin, op.cit., Hlm.
109-110.
[10] Anas
Salahudin, op.cit., Hlm. 49.
[11] Abdul
Majid, op.cit., hlm. 212-217.
[12] Retno
Listyarti. Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif, dan Kreatif.
(Jakarta: Erlangga, 2012), hlm. 10-11.
[13] Anas
Salahudin, op.cit., hlm. 88-89
[14] Anas
Salahudin, op.cit., Hlm. 54-56.
terima kasih artikelnya sangat membantu, kebetulan kami juga bergerak di bidang pengembangan aplikasi khususnya untuk absensi sekolah berbasis sms gateway terhubung langsung dengan HP orang tua, cocok juga untuk absensi pegawai kantor, untuk lebih jelasnya silahkan hubungi website kami www.schoolmantic.com
ReplyDeleteTerimakasih banyak sudah mengunjungi blog kami. Mudah-mudahan dapat memberikan manfaat.
DeleteInformasi lebih lanjut dengan penulis.
Email: muhammadfahmidzajuli97@gmail.com
Terimakasih banyak sudah mengunjungi blog kami. Mudah-mudahan dapat memberikan manfaat.
ReplyDeleteInformasi lebih lanjut dengan penulis.
Email: muhammadfahmidzajuli97@gmail.com
Terimakasih banyak sudah mengunjungi blog kami. Mudah-mudahan dapat memberikan manfaat.
ReplyDeleteInformasi lebih lanjut dengan penulis.
Email: muhammadfahmidzajuli97@gmail.com