Poligami, Perjanjian Perkawinan dan Kawin Hamil
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kelompok dan akan
dipresentasikan pada mata kuliah “Fiqih Munakahat dan Mawaris”
Dosen Pengampu :
Hj. Marhamah Saleh, Lc. MA
Disusun oleh :
Muhammad Fahmi Dzajuli (11150110000032)
M. Rifqi Hamzah Herlambang (11150110000111)
Mara Cindy Dianantifa (11150110000138)
SEMESTER III
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berbicara
tentang poligami, merupakan polemik tersendiri bagi umat muslim di seluruh
dunia. Bahkan hal ini tidak jarang menjadi sorotan bagi ulama-ulama, para
fuqoha, dan sebagainya. Seyogyanya mereka telah mengetahui bahwa poligami juga
salah satu syari’at yang diajarkan di dalam Islam, dan telah dipaparkan di
dalam ilmu fiqh dan ushul fiqh.
Poligami bukan hanya gencar menjadi
pembicaraan di kalangan muslim saja, orang non muslim juga tak habis - habisnya
mempermasalahkan praktek poligami, bahkan mereka sampai melontarkan tuduhan
pada Nabi kita bahwa beliau adalah orang hypersexsual. Tapi jika merunut
pada sejarah dan Al-kitab yang mereka miliki ternyata para pendahulu - pendahulu
mereka bahkan para Nabi - Nabi mereka sudah terbiasa melakukan praktek
poligami.
Poligami
dalam islam adanya bukan tanpa tujuan dan alasan yang rasional, seperti yang
kita ketahui bahwa semua yang telah menjadi aturan dan hukum dalam islam itu
sudah ada alasan dan hikmah yang terkadang kita kurang menyadari dan memahami.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian,
prosedur dan hikmah poligami ?
2.
Hikmah
dilarang nikah lebih dari empat orang ?
3.
Pengertian
dan bentuk-bentuk perjanjian perkawinan ?
4.
Pengertian
kawin hamil dan hukum kawin hamil ?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan dari
penulisan makalah ini ialah untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah
Fiqih Munakahat dan Mawarits serta sebagai sumber informasi dan diskusi untuk
mahasiswa.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Poligami : Pengertian, Prosedur poligami, Hikmah poligami, Hikmah
dilarang nikah lebih dari empat orang.
1.
Pengertian
Poligami.
Kata poligami terdiri dari dua suku kata, poli dan gami. Poli
berarti banyak dan gami berarti istri. Secara terminologi, berarti poligami
adalah seorang laki-laki yang memiliki banyak istri.[1]
Poligami
berarti ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa
lebih dari satu istri dalam waktu yang bersamaan, bukan saat ijab qabul
melainkan dalam menjalani hidup berkeluarga, sedangkan monogami berarti
perkawinan yang hanya membolehkan suami mempunyai satu istri pada jangka waktu
tertentu.[2]
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ
لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ
أَلَّا تَعُولُوا
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya. (Q.S. An-Nisa:3)
Dalam menentukan hukum berpoligami, para ulama membagi hukum
tersebut menjadi tiga, ada mubah, wajib dan haram dengan syarat.[3]
a. Versi mayoritas ulama membolehkan, dengan syarat perlakuan adil terhadap
istri-istrinya. Argumen yang mereka utarakan adalah pertama, ayat 3 surat
An-Nisa merupakan Nash yang secara jelas menunjukkan kebolehan poligami. Kedua,
praktek poligami telah dicontohkan oleh Nabi SAW, tetapi terbatas 4 (empat)
isteri saja bagi umatnya. Ketiga, bahwa orientasi perintah menikah yang terbaca
dalam surat An-Nisa senada dengan perintah makan dan minum sebagai satu
instruksi ibahah atau tidak ada larangan (izin).
b. Versi kedua yaitu ulama yang mewajibkan poligami. Mereka mengambil istinbat
hukum wajib karena mereka konsisten dengan prinsip ushuliyah.[4]
c. Muhammad Abduh mengharamkan poligami, akan tetapi larangan ini
tidak berlaku mutlak. Menjadi boleh apabila terdesak dan suami dapat berlaku
adil.[5]
2.
Prosedur
Poligami.
Prosedur poligami menurut Pasal 40 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974 menyebutkan bahwa apabila seorang suami bermaksud
untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara
tertulis kepada pengadilan. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 56, 57, dan
58 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:
Pasal 56 KHI
a. Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari
Pengadilan Agama.
b. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
c. Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau ke empat tanpa
izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.[6]
Pasal 57 KHI
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami
yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Kalau Pengadilan Agama sudah
menerima permohonan izin poligami, kemudian memeriksa berdasarkan Pasal 57 KHI
:
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi;
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun
tulisan, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu
harus diucapkan di depan sidang pengadilan;
c. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup
istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
1) Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh
bendahara tempat bekerja, atau
2) Surat keterangan pajak penghasilan, atau
3) Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
Pasal 58 KHI
a. Selain syarat utama yang disebut dalam pasal 55 ayat (2) maka untuk
memperoleh izin dari pengadilan agama, harus pula ditentukan syarat-syarat yang
ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu :
1) Adanya persetujuan Isteri.
2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri
dan anak-anak mereka.
b. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf B Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan
isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan,
tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, peretujuan ini dipertegas dengan
persetujuan lisan isteri pada sidang di Pengadilan Agama.
c. Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf A tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila isteri atau
isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya
sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian
Hakim.
Pasal 59 KHI
Dalam hal ini isteri tidak mau memberikan persetujuan dan permohonan izin
untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang
diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan
tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan
di persidangan Pengadilan Agama dan terhadap penetapan ini isteri atau suami
dapat mengajukan banding atau kasasi.
3.
Hikmah
Poligami.
Mengenai hikmah diizinkannya poligami (dalam keadaan
darurat dengan syarat berlaku adil) antara lain, adalah sebagai berikut :
a.
Untuk mendapatkan
keturunan bagi suami yang subur dan istri yang mandul
b.
Untuk menjaga keutuhan
keluarga tanpa menceraikan istri
c.
Untuk menyelamatkan
suami yang hypersex dari perbuatan zina dan kerusakan akhlak yang lain
d.
Untuk menyelamatkan
kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal dan yang jumlah wanitanya lebih
banyak daripada kaum lelakinya.[7]
4.
Hikmah
dilarang nikah lebih dari empat orang.
Sesuai dengan dasar poligami yang
terkandung dalam surat An-Nisa’ ayat 3. Maksud berlaku adil di sini ialah
perlakuan yang adil dalam meladeni misteri seperti pakaian, tempat, giliran,
dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Dan Islam memperbolehkan poligami dengan
syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah
pula dijalankan Rasulullah SAW. Oleh karena itu, ayat ini membatasi poligami
sampai 4 (empat) orang saja.
Dan demikian juga disebutkan dalam surat An-Nisa` ayat 129, Allah SWT
berfirman:
وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْآ اَنْ تَعْدِ لُوْا بَيْنَ النِّسَآءِوَلَوْحَرَصْتُمْ
فَلاَ تَمِيْلُوْاكُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَ رُوْهَاكَا لْمُعَلَّقَةِ وَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ
اللَّهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا.
Artinya: Dan kamu
sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun
kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.
dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
B.
Perjanjian Perkawinan : Pengertian dan bentuk-bentuk perjanjian
perkawinan.
1.
Pengertian
Perjanjian Perkawinan
Perjanjian
perkawinan yaitu persetujuan yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu
atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-masing berjanji akan mentaati
apa yang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh pegawai pencatat
nikah.
Perjanjian
perkawinan mempunyai syarat, yakni perjanjian yang dibuat itu tidak bertentangan
dengan syariat Islam atau hakikat perkawinan. Jika syarat perjanjian yang
dibuat bertentangan dengan syariat Islam atau hakikat perkawinan apapun bentuk
perjanjian itu, maka perjanjian itu tidak sah, tidak perlu diikuti, sedangkan
akad nikahnya sendiri sah. Jadi, jika syarat perjanjian yang dibuat tidak
bertentangan dengan syariat Islam atau hakikat perkawinan maka hukum perjanjian
itu boleh (sah), tetapi jika syarat itu bertentangan dengan syarat Islam atau
hakikat perkawinan maka hukum perjanjian itu tidak boleh (tidak sah).
Contoh syarat
yang tidak sesuai dengan syariat misalnya, dalam perkawinan itu si istri tidak
akan dikeluarkan dari rumah, maka si suami tidak akan kawin lagi. Perkawinan
itu sendiri sah, tetapi syaratnya tidak sah berdasarkan sabda Nabi SAW:
كُلُ شَرْطٍ لَيْسَ فِى كِتَابِ اللّهِ فَهُوَ
بَاطِلٌ وَاِنْ كَانَ مِائَةُ شَرْطٍ .
Artinya: “Segala syarat yang tidak terdapat dalam kitabullah adalah
batal, sekalipun 100 kali syarat”.
Sabdanya pula:
اَلْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ اِلاَّ شَرْطًا اَحَلٌ حَرَا مًا
وَحَرَّمَ حَلاَلاً .
Artinya: “ Orang-orang Islam itu menurut syarat mereka, kecuali
apabila berupa syarat yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang
haram”.[8]
2.
Bentuk-bentuk
Perjanjian Perkawinan.
Bentuk-bentuk perjanjian perkawinan adalah:
a.
Ta’lik
talak.
b.
Perjanjian
lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Mengenai
perjanjian perkawinan, Abd. Rahman Ghazaly didalam bukunya Fiqh Munakahat
menyadur kompilasi hukum Islam memperinci sebagai berikut:
Pasal 45
Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam
bentuk:
a.
Ta’lik
talak.
b.
Perjanjian
lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Pasal 46
a.
Isi
Ta’lik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam
b. Apabila keadaan yang disyaratkan dalam Ta’lik talak betul-betul
terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak
sungguh-sungguh jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama.
c. Perjanjian Ta’lik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan
pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali Ta’lik talak sudah diperjanjikan
tidak dapat dicabut kembali.
Pasal 47
a. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua calon
mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disaksikan Pegawai Pencatat
Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
b. Perjanjian tersebut pada ayat (1) dapat meliputi pencampuran harta
pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak
bertentangan dengan hukum Islam.
c. Disamping ketentuan pada ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi
perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan
hipotek atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
Pasal 48
a.
Apabila
dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat,
maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga.
b.
Apabila
dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1)
dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan
kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.
Pasal 49
a.
Perjanjian
pencampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa
masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama
perkawinan.
b.
Dengan
tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan
bahwa pencampuran harta pribadi hanya terbatas pada harta pribadi yang dibawa
pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga pencampuran ini tidak meliputi
harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.
Pasal 50
a. Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak
dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan
Pegawai Pencatat Nikah.
b. Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atau persetujuan
bersama suami istri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencata Nikah
tempat perkawinan dilangsungkan.
c. Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami
istri, tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal
pendaftaran itu diumumkan oleh suami istri dalam suatu surat kabar setempat.
d. Apabila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang
bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat
kepada pihak ketiga.
e. Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh
merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.
Pasal
51
a.
Pelanggaran
atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada istri untuk meminta pembatalan
nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.
Pasal 52
a. Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan istri kedua, ketiga, atau
keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya
rumah tangga bagi istri yang akan dinikahinya.[9]
C.
Kawin Hamil : Pengertian kawin hamil dan hukum kawin hamil.
1.
Pengertian
Kawin Hamil.
Yang dimaksud dengan “kawin hamil” di sini ialah
kawin dengan seorang wanita yang hamil di luar nikah, baik dikawini oleh
laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki bukan yang menghamilinya.
2.
Hukum
Kawin Hamil.
Dalam ketentuan hukum islam, orang yang melakukan hubungan seksual di luar
perkawinan dihukumkan zina, jika wanita yang berbuat zina itu hamil, maka para
imam mazhab fiqh berbeda pendapat apakah wanita yang hamil itu boleh
melangsungkan perkawinan dengan laki-laki atau tidak boleh. Ada di antara
pendapat imam mazhab yang membolehkan wanita hamil itu melangsungkan.
Adapun hukum kawin dengan wanita hamil di luar nikah para ulama berbeda
pendapat, sebagai berikut:
a.
Ulama mazhab yang empat (Hanafi,
Maliki, Syafi’i dan Hambali) berpendapat bahwa perkawinan keduanya sah dan
boleh bercampur sebagai suami istri, dengan ketentuan, bila si pria itu yang
menghamilinya dan kemudian baru ia mengawininya.
b. Ibnu Hazm
(zhahiriyah) berpendapat bahwa keduanya boleh (sah) dikawinkan dan boleh pula
bercampur, dengan ketentuan, bila telah bertaubat dan menjalani hukuman dera
(cambuk), karena keduanya telah berzina. Pendapat ini berdasarkan hukuman yang
telah pernah diterapkan oleh Sahabat Nabi, antara lain:
1) Ketika Jabir
bin Abdillah ditanya tentang kebolehan mengawininya orang yang telah berzina,
beliau berkata: ”boleh mengawininya, asal kedunya telah bertaubat dan
memperbaiki sifat-sifatnya”.
2) Seorang laki-laki
tua menyatakan keberatanya kepada khalifah Abu Bakar dan berkata: ya amirul
mukminin, putriku telah di campuri oleh tamuku, dan aku inginkan kedunya segera
dikawinkan. Ketika itu khalifah memerintahkan kepada sahabat lain untuk
melakukan hukuman dera (cambuk) kemudian dikawinkannya.
Selanjutnya, mengenai pria yang
kawin dengan wanita yang dihamili oleh orang lain, terjadi perbedaan pendapat
di antara para ulama:
a.
Imam Abu Yusuf mengatakan, kedunya
tidak boleh dikawinkan. Sebab bila dikawinkan perkawinannya itu batal (fasid).
Pendapat beliau ini berdasarkan firman Allah dalam surah An-nur ayat 3:
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ
مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ ۚ
وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Artinya: Laki-laki yang berzina tidak
mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan
perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang
mukmin.
Maksud ayat tersebut di atas adalah, tidak pantas seorang pria yang
beriman kawin dengan seorang wanita yang
berzina. Demikian pula sebaliknya, wanita yang beriman tidak pantas kawin
dengan pria yang berzina.
Ayat tersebut di atas diperkuat oleh hadits nabi yang artinya:
Sesungguhnya seorang laki-laki mengawini seorang wanita, ketika ia
mencampurinya ia mendapatkannya dalam keadaan hamil, lalu dia laporkan kepada
nabi SAW. Kemudian nabi menceraikan kedunya da wanita itu diberi maskawin,
kemudian wanita itu didera (dicambuk) 100 kali.
b.
Ibnu Qudamah sependapat dengan imam
Abu Yusuf dan menambahkan bahwa seorang pria tidak boleh mengawini wanita yang
diketahuinya telah berbuat zina dengan wanita lain, kecuali dengan dua syarat:
1)
Wanita tersebut telah melahirkan
bila ia hamil. Jadi dalam keadaan hamil ia tidak boleh kawin.
2)
Wanita tersebut telah menjalani
hukuman dera (cambuk), apakah ia hamil atau tidak.
c.
Imam Muhammad bin Al-Hasan
Al-Syaibani mengatakan bahwa perkawinannya itu sah, tetapi haram baginya
bercampur, selama bayi yang dikandungnya belum lahir.
Pendapat ini
berdasarkan hadits bahwa:
Janganlah
engkau campuri wanita yang hamil, sehingga lahir (kandungannya).
d.
Imam Abu Hanifa dan Imam Syafi’i
berpendapat bahwa perkawinan itu dipandang sah, karena tidak terikat dengan
perkawinan orang lain (tidak ada masa iddah). Wanita itu boleh juga dicampuri,
karena tidak mungkin nasab (keturunan) bayi yang dikandung itu menodai oleh
sperma suaminya. Sedang bayi tersebut bukan keturunan orang yang mengawini
ibunya itu (anak di luar nikah).[10] Dengan
demikian, status anak itu adalah sebagai anak zina, bila pria yang mengawini
ibunya itu bukan pria yang menghamilinya.
Namun bila pria yang mengawini ibunya itu pria yang
menghamilinya, maka terjadi perbedaan pendapat:
a.
Bayi itu termasuk anak zina, bila
ibunya dikawini setelah usia kandungannya berumur 4 bulan ke atas. Bila kurang
dari 4 bulan, maka bayi tersebut adalah anak suaminya yang sah.
b. Bayi itu
termasuk anak zina, karena anak itu adalah anak di luar nikah, walaupun dilihat
dari segi bahasa, bahwa anak itu adalah anaknya, karena hasil dari sperma dan
ovum bapak dari ibunya itu.
c. Perkawinan
Wanita Hamil dalam Kompilasi Hukum Islam
3.
Status Perkawinan Wanita Hamil
Status
perkawinan wanita hamil dalam kompilasi hukum islam di Indonesia disebutkan
pada Bab VIII pasal 53 ayat 1,2 dan 3 yaitu:
a.
Seorang wanita hamil di luar nikah
dapat dikawinkan dengan pria menghamilinya.
b.
Perkawinan dengan wanita hamil dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
c.
Dengan dilangsungkannya perkawinan
pada saat wanita hamil tidak diberlakukan perkawinan ulang setelah anak
dikandung lahir.
pasal 53 ayat 2 menyatakan bahwa wanita hamil itu benar-benar dilangsungkan
ketika wanita itu dalam keadaan hamil sedangkan kelahiran bayi yang dalam
kandungannya tidak perlu ditunggu.
Dalam KHI
perkawinan wanita hamil akibat perbuatan zina tidak mengenal iddah, oleh karena
itu tidak mengakibatkan adanya masa iddah. Namun perkawinan wanita hamil
seperti pasal 53 ayat 1, hanya boleh dikawinkan dengan laki-laki yang
menghamilinya.
Untuk mengetahui siapakah laki-laki yang menghamili wanita itu sangat
sulit, apalagi dihubungkan dengan pembukuan menurut hukum islam harus
disaksikan oleh empat orang saksi. pembuktian itu semakin sulit apabila secara
sengaja menutup-nutupi, atau orang yang pernah menzinahi beberapa orang.
[2] Al-qamar Hamid, Hukum Islam Alternative
Terhadap Masalah Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Restu Ilahi, 2005), hlm.19
[3]
Team FKI, Esensi Pemikiran Mujtahid, (Kediri: Purna Siswa III Aisyah
Ponpes Lirboyo, 2003), hlm,356
[4] Abdul
Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah Fii Ushul Fiqh Wa Al Qowaid Al Fiqhiyah,
(Jakarta: Maktabah Sa’adiyah Putra, tt), hlm.8
[5] Musdah
Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT. Gramedia, 2003), hlm.51
[6]
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Akademik
Persero, 2010)
[7] Abd.
Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group,2006), hlm.136
[8] Abd.
Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media 2003), Cet.
Ke-1, hlm 119-120
[9] Abd.
Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media 2003), Cet.
Ke-1, hlm 120-124
[10] Abdul Rahman Ghazali, Fiqih
munakahat kawin hamil dan nikah mut’ah, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010), Ed-1, Cet.ke 4
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Poligami
adalah suatu bentuk perkawinan di mana seorang pria dalam waktu yang sama
mempunyai istri lebih dari seorang wanita. Adapun alasan Poligami, pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang istri. Seorang suami yang beristri lebih dari seorang dapat
diperbolehkan bila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan
Pengadilan Agama telah memberi izin (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974). Dasar pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama diatur dalam
Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan (UUP) dan juga dalam Bab IX KHI Pasal 57.
Perjanjian perkawinan yaitu persetujuan yang
dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan, dan masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam
persetujuan itu, yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah. Perjanjian
perkawinan mempunyai syarat, yakni perjanjian yang dibuat itu tidak
bertentangan dengan syariat Islam atau hakikat perkawinan. Jika syarat
perjanjian yang dibuat bertentangan dengan syariat Islam atau hakikat
perkawinan apapun bentuk perjanjian itu, maka perjanjian itu tidak sah, tidak
perlu diikuti, sedangkan akad nikahnya sendiri sah. Yang dimaksud dengan “kawin hamil” di sini ialah kawin dengan seorang
wanita yang hamil di luar nikah, baik dikawini oleh laki-laki yang
menghamilinya maupun oleh laki-laki bukan yang menghamilinya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. Kompilasi Hukum
Islam. Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 2004.
Daradjat, Zakiyah. Ilmu Fiqih
Jilid II. Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995.
Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqih
Munakahat. Cet. I. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2003.
Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqih
Munakahat. Cet. 3. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006.
Hakim, Abdul Hamid. Mabadi
Awwaliyah Fii Ushul Al Fiqh Wa Al Qowaid Al Fiqhiyah. Jakarta: Maktabah
Sa’adiyah Putra, tt.
Hamid, Al-qamar.
Hukum Islam Alternative Terhadap Masalah Fiqh Kontemporer, Jakarta : Restu Ilahi, 2005.
Mulia, Musdah. Islam Menggugat
Poligami. Jakarta: PT. Gramedia, 2003.
Team FKI. Esensi Pemikiran
Mujtahid. Kediri : Purna Siswa III Aisyah Ponpes Lirboyo, 2003.
Comments
Post a Comment